Yahya ibn Ma’in mengatakan:
“Aku tak pernah melihat (sosok)
seperti Ahmad bin Hanbal.
Aku menyertainya selama 50 tahun,
tapi tidak pernah sedikitpun
ia membanggakan kebaikan yang ada padanya.”
Isma’il bin Ishaq al-Tsaqafy mengatakan:
“Aku pernah berkata
pada Abu ‘Abdillah (Imam Ahmad)
saat pertama kali melihatnya:
‘Wahai Abu Abdillah,
izinkan aku mencium kepalamu…”
Namun ia menjawab:
“Aku belum lagi sampai pada level itu
(baca: pantas untuk dimuliakan-penj).”
***
Jika sebegitu itulah sikap jiwa
Imam Ahmad yang menawan hati itu:
yang menoreh Kitab al-Musnad,
yang menginspirasi lahirnya Mazhab Hanbali,
yang menegak teguh
saat fitnah “al-Qur’an itu makhluk”
di hadapan penguasa yang lalim
(Hingga sebagian ulama bertutur:
bahwa Imam Ahmad hari itu
semisal Khalifah Abu Bakar
di zaman kemurtadan!)
Jika Sang Imam yang sebegitu cemerlang itu,
masih merendahkan jiwa dan hati:
“Aku belum siapa-siapa…”
“Aku tak punya apa-apa…”
Maka…
Kita tertampar habis karenanya.
Kita yang tak punya apa-apa,
tapi selalu berlagak punya jasa.
Kita yang miskin manfaat pada sesama,
tapi selalu merasa harus dimulia.
Lalu,
apa yang kita banggakan?
Ilmu tak seberapa.
Jihad tak seberapa.
Sedekah ala kadarnya.
Shalat secukupnya.
Dakwah sesempatnya.
Alasan sebanyak-sebanyaknya.
Malas tak kira-kira.
Ah,
Sudahlah kita sepayah itu:
masih saja berharap puji manusia.
Seolah puji manusia segalanya.
Ah,
Aku rindu pada Imam Ahmad.
Rindu, meski tak pernah bertemu.
Akhukum,
Muhammad Ihsan Zainuddin
https://IhsanZainuddin.com
https://t.me/IhsanZainuddin (Telegram)
https://www.instagram.com/m.ihsanzainuddin/