JADILAH MANUSIA DIALOGIS…

  • 4 min read
  • Apr 09, 2022

 

Hari itu mungkin menjadi salah satu hari yang paling menggalaukan hati nabi Allah yang mulia, Ibrahim ‘alaihissalam.

Baru saja, ia bermimpi. Memimpikan sesuatu yang tak sepenuhnya nyaman bagi sisi manusiawinya sebagai ayah. Tapi apa hendak dikata: mimpi seorang nabi adalah wahyu!

Maka bagaimanapun itu, ia tetap harus sampaikan titah ilahi itu kepada putra kinasihnya, Ismail ‘alaihissalam…

قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى

“Wahai anakku,

sungguh aku telah saksikan dalam mimpi(ku) bahwa aku menyembelihmu.

Maka coba pikirkan bagaimana menurutmu…”

(Terjemah ayat 102, Surah al-Shaffat)

Ibnu al-Jauzy rahimahullah menuturkan dalam Tafsirnya, Zad al-Masir (3/546), bahwa penyampaian Ibrahim ‘alaihissalam itu tidak disampaikan dengan tujuan memuslihati perintah Allah tersebut –dengan harapan dapat menemukan celah untuk menghindarinya-.

Bukan sama sekali. Ayahanda para nabi itu ingin tahu pandangan anak kebanggaannya tentang perintah itu. Ia ingin perintah mencabar itu dapat ditunaikannya dengan penuh ketulusan dan keikhlasan jiwa; pada dirinya sendiri dan tentu pada putranya.

***

Apa yang kita lihat dari kepingan kisah ini?

Yah, kita melihat sebuah teladan abadi dari seorang ayah teragung dalam rentang sejarah kemanusiaan, tentang bagaimana seorang ayah seharusnya membangun dialog bersama anak-anaknya.

Coba kita renungkan faktanya:

Mimpi Ibrahim ‘alaihissalam itu bukan bunga tidur. Mimpi itu adalah wahyu. Sangat mungkin –dan kita takkan bisa menyalahkan Ibrahim ‘alaihissalam jika melakukan itu- bersikap tegas tanpa basa-basi dalam menjalankannya. Mungkin saja dialognya akan menjadi begini:

“Ismail, dengar baik-baik dan jangan membantah! Kamu tahu kan bahwa ayahmu ini seorang nabi. Dan mimpi seorang nabi itu pasti benar. Aku diperintahkan untuk menyembelihmu lewat mimpi. Jadi sekarang bersiap-siaplah!”

Tapi itu tidak terjadi…

Ibrahim ‘alaihissalam memilih jalan dialog. Menyampaikan pesan-perintah Allah Azza wa Jalla dengan cara yang menghormati kemanusiaan putranya.

“…maka coba pikirkan, bagaimana menurutmu…”

Apakah Ibrahim ‘alaihissalam sedang menolak perintah Allah? Anda sudah membaca penjelasan Ibnu al-Jauzy sebelum tentang itu. Ibrahim ‘alaihissalam ingin melihat bagaimana putranya merespon perintah Allah itu.

Tentu saja. Sebagai seorang ayah, Ibrahim ‘alaihissalam ingin tahu bagaimana hasil tarbiyah dan didikannya sekian lama kepada putranya. Tarbiyah untuk menjadi hamba Allah dengan setulus jiwa. Tarbiyah untuk tunduk berserah diri padaNya dengan sepenuh kebahagiaan hati.

Tentu saja, hasil tak mengkhianati usaha. Jawaban Ismail ‘alaihissalam adalah jawaban terindah seorang hamba:

يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ

“Wahai ayahandaku, lakukanlah apa yang diperintahkan(Nya).

Engkau akan dapati aku insya Allah termasuk orang-orang yang bersabar.”

(Terjemah ayat 102, Surah al-Shaffat)

Tapi…

Bukankah bisa saja yang terjadi sebaliknya?!

Ismail ‘alaihissalam menjawab dengan penolakan. Dan mari kita bayangkan apa yang kira-kira terjadi pada saat penolakan itu muncul?

Benar sekali. Ibrahim ‘alaihissalam pasti akan melanjutkan dialog itu demi mengubah penolakan sang anak menjadi sebuah penerimaan.

***

Tahun 2019 awal…

Saya mendengarkan kisah itu. Kisah yang –menurut saya- lebih dari sekedar tragis.

Anak muda itu lari dari rumahnya, karena tidak tahan tinggal bersama ibunya. Tapi ibunya bukan seorang ahli maksiat. Tidak termasuk dalam kelompok ibu-ibu yang doyan shopping atau ngelayap ke sana ke mari. Namun di situlah letak ketragisan kisah ini!

Ibu anak muda itu belum lama ini berhijrah. Ia mendapatkan “hidayah” untuk lebih sungguh-sungguh menjalankan Islam. Tidak main-main, sekarang ibu itu bahkan telah mengenakan cadar. Ibu itu mungkin merasa sekarang ia lebih dekat dengan “Sunnah”.

Akibatnya, kehidupan rumah tangganya menjadi “neraka”. Bukan karena Islam dan Sunnah yang diikutinya. Tapi karena cara pandang dan cara bersikap Sang Ibu itu menjalani kehidupan barunya sebagai seorang pengikut “Sunnah”.

Anak muda itu bertutur bahwa sepanjang hari ibunya menjadi sosok penebar kebencian dan kecurigaan. Ia selalu curiga kepada anak dan suaminya sendiri. Bahkan meski sang anak itu mengaku telah menunaikan shalat, Sang Ibu tidak pernah percaya. “Ah, kamu pasti bohong!” begitu acap kali ibu anak muda itu berucap.

“Pakaianmu itu seperti orang Yahudi!” begitu ujar Sang Ibu di kali lain karena anak muda itu masih mengisbalkan celananya di bawah mata kaki.

Tiada dialog. Tiada pembicaraan tulus dari hati ke hati. Tidak ada “al-Nashihah” (ketulusan untuk melihat orang lain menjadi baik) dalam sergahan-sergahan wanita itu.

Singkatnya, kisah sang ibu yang berhijrah ini berakhir pada episode yang memilukan. Anaknya lari meninggalkan rumah karena tak tahan. Dan wanita itu pun akhirnya bercerai dengan suaminya, -sekali lagi: bukan karena “Sunnah” yang diikutinya- tapi disebabkan hilangnya kesediaan untuk berdialog dan berbicara lebih lama dari hati ke hati, demi menyampaikan pandangan dan mendengarkan keberatan, atau menyimak kendala-kendala jiwa yang mungkin masih menghalangi Sang anak atau suami tidak berada dalam gelombang yang sama dengannya.

Dan omong punya omong, si Anak muda itu kini tidak mau lagi mengerjakan shalat. Jiwanya trauma dengan shalat akibat sikap ibunya yang selalu curiga dia belum mengerjakan shalat…

Wallahul musta’an.         

Ibrahim ‘alaihissalam mengajarkan kepada kita bahwa bahkan dalam hal-hal yang telah jelas sekalipun sebagai perintah Allah, dalam penyampaiannya dibutuhkan pengondisian jiwa. Pada anak kita –misalnya- pastikan kesiapannya. Cari tahu jika ada kendala dan penghalang psikologis untuk mengerjakannya. Dengarkan dan coba patahkan kendala itu secara bijak.

Jangan terburu-buru ingin menuai hasil. Karena seringkali 1 kali nasihat belum cukup. Satu kali dialog belum cukup.

***

Membangun tradisi dialog pastilah tidak mudah. Meski juga tidaklah mustahil.

Saya sendiri pun termasuk orang yang masih sulit menradisikan dialog dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam rumah tangga. Tapi tidak ada salahnya kita berusaha, bukan? Sedikit demi sedikit.

Diawali dengan menyiapkan kedua telinga kita untuk mendengarkan “hal-hal mengejutkan” dari orang lain, termasuk pasangan hidup dan anak-anak kita. Belajar menjaga ketenangan hati saat mendengarkan apa yang tak sesuai dengan sudut pandang kita. Bukankah jumlah telinga kita lebih banyak dari lisan, agar kita mendengar lebih banyak daripada berbicara?

Jangan buru-buru menyanggah. Jangan buru-buru berkomentar. Dengarkan dan dengarkan saja dulu.

Saat anak kita malas-malasan dan tidak bergairah mengerjakan apa yang seharusnya, tanyakan kenapa, lalu dengarkan alasan-alasannya hingga selesai.

Tidak mudah pastinya. Tapi itu ciri utama “manusia dialogis”. Mendengarkan dan menyimak secara utuh dan lengkap. Karena tanpa itu, hampir bisa dipastikan kesimpulan dan vonis yang kita jatuhkan menjadi tidak objektif, bahkan tidak adil.

Persis seperti anekdot populer tentang 3 pria buta yang diminta menyimpulkan tentang fisik seekor gajah.

“Gajah itu hewan panjang seperti ular,” ujar pria buta pertama karena ia memegang belalainya.

“Gajah adalah hewan yang lebar dan tipis,” simpul pria buta kedua karena ia memegang telinganya.

Lalu “Gajah adalah hewan yang kukuh seperti batang pohon,” ucap pria buta ketiga karena ia memeluk kaki Si Gajah.

***

Dialog hanya lahir dari akal-akal yang sehat. Dialog adalah ruang untuk merangsang kita agar menyentakkan saraf-saraf pikiran. Berpikir. Bertafakkur. Mentadabburi. Dan itu semua adalah jalan yang dipandukan al-Qur’an dan al-Sunnah untuk kita.

Maka teladanilah Ibrahim ‘alaihissalam. Berdialoglah…

 

Makassar, 21 Januari 2019

Muhammad Ihsan Zainuddin

https://t.me/IhsanZainuddin

Related Post :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *