Terlalu sering:
kisah indah yang kau baca hari ini,
tak seindah itu pada awalnya.
Terlalu selalu:
kisah cemerlang yang kau kagumi,
tak secemerlang itu pada mulanya.
Tapi si empunya kisah itu pastilah hebat,
kerna punya jiwa yang tabah
meniti setiap jejak kelam dan kecewa
hingga kakinya tiba di puncak cahayanya!
Si empunya kisah itu nyatalah perkasa,
karena jiwanya bersikukuh sepenuh asa
menerabas segala kisah sedih dan duka,
hingga puncak gemilang itu sendiri yang rindu padanya!
***
Siapa tak kenal al-Imam al-Suyuthi
-rahimahullah-?
Konon dengan jemarinya,
setidaknya ia telah menulis
lebih dari 1000 judul buku!
Hanya sepertiga diantaranya
yang telah dicetak hari ini.
Duapertiga yang tersisa:
antara hilang atau terpenjara di alam manuskrip…
Di genap usianya yang 40 tahun,
Al-Suyuthi mewakafkan jiwanya untuk ilmu.
Menutup pintu untuk para penguasa.
Tak sudi menerima pemberian mereka.
Tak sudi memenuhi undangan mereka.
Jiwanya lurus menerabas jalannya.
Menggapai obsesi para penempuh jalan Anbiya’.
Tapi itu punya awal kisah tersendiri.
Awal kisah yang mengiris hati…
***
Sebelum itu,
Al-Suyuthi telah mengkritik “pejabat sufi”
di madrasah waqaf bernama “al-Khan-Qaah”.
“Kalian tidak sejalan dengan syarat
yang diinginkan oleh pewakaf,” kata al-Suyuthi.
Mereka pun marah, dan terprovokasi.
Mereka mengangkat al-Imam al-Suyuthi,
lalu menghempasnya ke sebuah got,
lengkap dengan jubah dan serbannya…
Muridnya, Ibnu Iyas, menyebutkan:
Al-Suyuthi pun keluar dari aliran air itu,
memperbaiki pakaiannya,
lalu pulang kembali ke rumahnya;
di Raudhah al-Miqyas…
Di sanalah ia berdiam diri.
Menutup tingkap jendela rumahnya
yang menghadap Sungai Nil.
Lalu menulis bukunya:
“Ta’khir al-Zhulamah ila Yaum al-Qiyamah”
(Menunda Balasan untuk Pezhalim hingga Hari Kiamat).
Di sanalah bermula kisahnya,
Sang ‘alim besar dari Mesir itu
menyepikan diri dari dunia yang hiruk,
untuk meninggalkan warisan kebajikan tiada akhir
bernama: “ilmu nan bermanfaat”…
Tafsir “al-Durr al-Mantsur”.
“Jam’u al-Jawami’” dalam hadits.
“Tadrib al-Rawi” dalam ilmu hadits.
“al-Asybah wa al-Nazha’ir” dalam kaidah fikih,
juga di ranah ilmu nahwu.
“Tarikh al-Khulafa’” dalam sejarah.
Dan teruslah menyebutkan senarai karyanya,
karena lembaran ini tak mampu menorehnya…
***
Begitulah kisah “kecemerlangan” al-Suyuthi.
Bermula dari sebuah kezhaliman.
Bermula dari sebuah penghinaan.
Mungkin juga bermula dari jiwa yang kecewa.
Tapi mungkin sekali,
Al-Suyuthi takkan menorehkan legenda amal shalihnya itu,
jika ia tak lewati kegelapan dan kesuraman itu!
Benarlah kata si bijak:
“Kesuraman adalah
halaman pertama kecemerlangan.”
Apakah engkau siap dengan tabah:
melewati jejak kesuramanmu, Kawan?
(Note:
Kisah di atas adalah salah satu versi
tentang mengapa al-Imam al-Suyuthi
lalu memilih untuk beruzlah demi karya-karyanya…)
Akhukum,
Muhammad Ihsan Zainuddin
https://t.me/IhsanZainuddin (Telegram)
Barokallahu fiik wajazakallahu khair atas inspirasi dan ilmunya.