أَنتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ ۖ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ
“Kalianlah para fakir (yang butuh) pada Allah,
sementara Allah, Dialah saja yang Mahakaya lagi Maha Terpuji.”
(Surah Fathir: 15)
Betapa seringnya, kita keliru jalan dalam menjalankan suatu ibadah.
Kononnya kita beribadah, tapi ibadah kita sama sekali tidak mengandung ruh ibadah itu sendiri. Ruh ibadah yang paling mendasar, bahkan sedasar-dasarnya ruh ibadah itu sendiri, yaitu rasa hina diri, tidak punya apa-apa, tidak punya daya apapun. Rasa jiwa yang bersimpuh tak berdaya di hadapanNya, hingga mengangkat wajah pun rasa malunya tak terkira.
Di hadapan Allah Ta’ala, padahal sebaik-baik hamba dan semulia-mulianya adalah hamba sebegitu itu perasaan yang memenuhi jiwanya saat menghadap Tuhannya, atau saat ia mempersembahkan sekeping-dua keping amal shalihnya.
***
Tapi apa yang terjadi pada kita?
Kita beribadah betapa seringnya dalam perasaan gagah di dalam hati.
Jasmani kita tegak berdiri dalam barisan shaf shalat berjamaah, tapi ruhani kita penuh sesak dengan perasaan gagah, bahwa “Akulah hamba yang shalatnya paling sesuai Sunnah”, atau “Akulah hamba yang tak putus berada di shaf pertama”, atau “Akulah hamba yang khusyu’ dan sering berderai air mata”, dan sederet “Akulah-akulah” yang lainnya…
Kita selalu lupa tentang 1 hal paling penting dalam shalat-shalat kita, yaitu: siapa gerangan yang telah menghidayahi hati kita hingga mau bersujud? Siapa yang gerangan yang telah mengaruniai kemampuan fisik untuk berdiri tegak dalam shaf itu? Siapakah yang telah melembutkan hatimu hingga air matamu berderai dalam khusyu’? Hanya Allah yang Mahakuasa mengaruniakan itu semua. Lagi-lagi, kita adalah hamba fakir tak kuasa apa-apa.
***
Saat karunia harta sedikit berlebih Allah berikan, kemudian tangan merogoh saku atau memasukkan pin m-banking demi bersedekah, maka sedekah itupun kita keluarkan dengan perasaan gagah!
Seakan-akan kitalah pemilik mutlak harta itu. Bahasa tubuh kita seperti berucap kepada si penerima: “Akulah orang yang mampu, dan Anda orang yang membutuhkan”. Lisan kita tak mengucapkannya, tapi rasa gagah itu terlalu menguasai jiwa kita, hingga ia terucap dalam bahasa tubuh kita.
Kita lupa, bahwa harta itu hanya numpang lewat di rekening atau dompet kita. Kita lupa, bahwa rupiah-rupiah itu numpang dititipkan Allah Ta’ala sementara waktu pada kita. Jadi sebenarnya, kita ini bukan “Si Kaya yang mampu”. Tapi kita tidak lebih dari “Si Miskin yang dititipi”, karena hanya Allah Ta’ala semata saja Sang Mahakaya.
***
Dalam kerja-kerja dakwah kita di tengah umat, bukankah perasaan gagah itu juga seringkali muncul dan “menghantui” kita? Terutama saat keberhasilan kerja-kerja itu tampak begitu cemerlang di depan mata.
“Inilah hasil kerja kerasku selama ini,” begitu kalimat yang memberontak untuk diucapkan.
“Kepemimpinan dan kemampuan manajerialku terbukti sekali lagi!” begitu kalimat lain yang ikut resah diucapkan.
Kita tidak jarang lupa bahwa semua keberhasilan itu sepenuh-penuhnya hanyalah taufiq dari Allah Ta’ala, yang berkenan menitipkan keberhasilan-keberhasilan itu sebagai ujian untuk kita. Toh, hidup dunia bukankah sepenuhnya adalah ujian untuk kita?
Siapa yang memberi kita hidayah untuk bekerja keras? Allah. Siapa yang membuka hati para muslimin dan muslimat untuk rela dipimpin dan bekerja sesuai arahan kita? Allah. Siapa yang mengaruniai kita kharisma dan wibawa sebagai pemimpin? Allah.
Maka jika semua sepenuhnya dari Allah, lalu apa yang kita punya? Tidak ada.
Lagi-lagi kita hanyalah hamba fakir yang dititipi sederet karunia keberhasilan dalam kerja-kerja dakwah kita. Apalah kurang mulia Baginda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Tapi saat Allah Ta’ala mengaruniakan penaklukan Mekkah untuknya, beliau memasukinya dengan kepala tertunduk…Dan Allah Ta’ala berpesan pada hamba mulia itu:
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ (1) وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا (2) فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا (3)
“Apabila tiba pertolongan dari Allah, dan kemenangan(Nya).
Dan engkau lihat manusia berbondong-bondong masuk ke dalam agama Allah.
Maka bertasbihlah memuji Tuhanmu, dan mohon ampunlah padaNya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima taubat.”
(Surah al-Nashr, 1-3).
Maka, bertasbih dan beristighfar di saat keberhasilan dan kesuksesan itu akan melumat habis rasa gagah dalam jiwa itu, akan merubuhkan ketakaburan dan keujuban dari Si Hamba yang payah ini.
***
Jadi sebenarnya, kita ini adalah para pengemis…
Pengemis yang mengetuk pintu demi pintu kebaikan dan amal shalih; siapa tahu ada yang berkenan diterima oleh Allah Azza wa Jalla. Kita terus mengetuk dan mengetuk, memelas-melas di hadapanNya:
“Duhai Allah, terimalah shalat hamba yang payah ini…”
“Duhai Allah, terimalah sedekah hamba yang tak seberapa ini…”
“Duhai Allah, terimalah kerja-kerja dakwah yang tak pernah sempurna ini…”
Andai kita jalani setiap jejak penghambaan pada Allah dengan jiwa merendah selayaknya pengemis, maka kitalah sang hamba sejati. Dan itulah semulia-mulianya derajat di Sisi Allah.
Rasa jiwa seperti itulah yang mendorong Baginda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tak henti-hentinya shalat hingga kedua telapak kaki mulianya begitu rupa.
Rasa jiwa seperti itulah yang mendorong para sahabat, seperti Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berucap:
“Andai kalian mengetahui apa yang aku ketahui tentang diriku,
pasti kalian akan melempari dan melumuri kepalaku dengan tanah!”
(Lih: Kitab al-Zuhd karya Imam Abu Dawud, hal. 144).
Yah, rasa jiwa seperti itu memang hanya bisa ditemukan oleh mereka yang tahu diri. Tahu diri bahwa ia tak lebih dari makhluk fakir tanpa daya. Sayangnya, banyak manusia tidak tahu diri tentang itu. Sehingga dalam jejak ibadah dan amal shalihnya pun, ia masih saja diliputi rasa takjub pada diri. Rasa takjub yang menyilaukan jalannya untuk sadar diri.
Wallahul musta’an…
Makassar, 16 Ramadhan 1443 H
Si Fakir yang payah,
Muhammad Ihsan Zainuddin