Pagi ini, saya terpapar sebuah gambar menarik di Instagram. Saya tersenyum melihat gambar itu. Saya tahu si empunya status pastilah sama gemas jiwanya dengan saya. Gemas (mungkin juga beraduk jengkel) melihat dan membaca cara berpikir sebagian orang muslim, bahkan “pejuang dakwah” dalam menalar kejadian luar biasa akibat pandemi COVID-19 belakangan ini.
“Jangan Takut! Virus Covid 19 itu ciptaan Allah!”
Lalu dijawab pada baris berikutnya:
“Harimau juga ciptaan Allah! Takut gak kalau dikandangin berdua?”
Begitu tulisan sarkastik yang tertuang dalam gambar itu. Tentu saja saya setuju dengan pernyataan itu. Karena di luar sana, banyak sekali beredar bahwa gerakan Social Distancing yang seharusnya kita lakukan seakan bertolak belakang dengan keimanan, ketauhidan, dan ketaqwaan Anda sebagai muslim.
Jadi bagi mereka “yang merasa punya iman berlebih” itu: jika Anda dan keluarga Anda memutuskan untuk tidak lagi hadir shalat berjamaah dan berJum’at di Mesjid, itu berarti iman Anda terlalu “cemen”!
Kalau iman dan taqwa Anda kuat, harusnya Anda harus tetap ke mesjid!
Maka tidaklah mengherankan, jika para pemilik nalar seperti ini berkumpul, menjadilah ia sebuah kerumunan muslim yang terlalu dipenuhi “percaya diri” dan mengabaikan panduan, arahan bahkan perintah pihak-pihak yang lebih kapabel dari mereka: para ulama, para umara dan para ahli di bidangnya.
Seperti satu kelompok dakwah yang bersikeras untuk tetap berkumpul dalam jumlah yang sangat besar (karena konon menghadirkan anggota mereka dari penjuru Asia!) di Makassar hari-hari ini. Saya mencintai mereka karena Allah. Tapi saya sangat kecewa (dan ini mewakili kekecewaan banyak pihak juga) melihat sikap keras-kepala mereka mengabaikan Pandemi Covid 19 ini!
Saya kira ada nalar yang hilang di sini. Hilang akibat ilmu yang terabaikan. Akibat ilmu yang tidak terperhatikan. Akibatnya beragama pun seringkali dibangun berlandaskan pada perasaan, emosi, kisah-kisah menakjubkan (meski berpijak pada kedhaifan), daripada dalil-dalil shahih, penjelasan para ulama yang berkompeten dan kelurusan nalar dalam beragama.
Maka tidaklah heran jika kemudian muncul pernyataan-pernyataan yang kelihatannya “sangat berTauhid”, tapi sebenarnya mencederai Tauhid itu sendiri!
“Kita tidak takut pada Corona! Kalau perlu kita kirim jamaah untuk menghadapi Corona!”
“Kita berkumpul untuk melawan Corona! Karena Corona itu kiriman jin!”
Dan mungkin ada lagi pernyataan-pernyataan aneh berselaput “agama” dalam situasi seperti ini.
Yah, di situlah masalahnya. Karena yang berbicara ini bukan mereka yang memang hobi melempar hoaks atau para buzzer bayaran yang biasa muncul menjelang Pemilu. Mereka adalah orang-orang yang biasa dipanggil “Ustadz”. Berserban. Berjubah. Berjanggut. Selalu berbicara tentang dakwah. Tentang Sunnah.
Dan…
Dan di sinilah saya sungguh semakin sadar betapa pentingnya ilmu dalam beragama. “Ilmu sebelum bertutur dan berbuat”. Ilmu yang benar akan menuntut nalarmu untuk berpikir dengan benar. Ilmu yang benar akan menuntun jiwamu untuk memilih sikap yang tepat saat genting. Saat terjadi kekacauan yang gelap. Ilmu yang benar akan menjadi cahaya benderang untuk berjalan di kegelapan zaman. Ilmu yang benar akan menyulih yang benar di saat terlalu banyak suara hiruk-pikuk di akhir zaman.
***
Jangan terlalu sibuk berdakwah, Kawan…
Islam itu terlalu luas untuk engkau pahami dalam bingkai “khuruj”mu. Di dalam Islam ada ilmu Fiqih yang terwariskan sejak zaman para Sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum yang sering kalian baca dalam karya Syekh al-Kandahlawi, Hayat al-Shahabah. Para sahabat itu tidak hanya mewariskan dakwah, tapi juga ragam ilmu yang luar biasa agar cara beragamamu lurus dan benar hingga ke Surga Firdaus…
Di dalam ilmu Fiqih itu ada sebuah kaidah agung berbunyi: “La Dharar wa La Dhirar”, semua bentuk upaya memudharatkan diri dan orang lain itu tidak dibenarkan di dalam Islam. Yah, engkau tidak dibenarkan menyengajakan diri jatuh dalam mudharat, apalagi hingga menjatuhkan orang lain (apalagi dalam jumlah banyak) dalam bahaya!
Dan seluruh dunia, para ulama, para pemimpin negara dan para ahli medis telah “berijma’” bahwa Covid-19 ini telah menjadi sebuah wabah yang menyerang ribuan manusia. Dan media penyebaran paling vitalnya adalah semua bentuk kerumunan manusia. Karena itu, para ulama dunia memfatwakan tentang keharusan menutup semua jalan yang dapat menghasilkan kerumunan itu, termasuk menutup mesjid untuk shalat berjamaah dan Jum’at!
Bukan karena mereka ingin menjauhkanmu dari mesjid, tapi untuk menjauhkanmu dari mudharat, dan (ini yang lebih penting) untuk membantumu agar engkau tidak menjadi jalan mudharat untuk orang lain! Mungkin bukan hanya 1 orang, tapi berpuluh-puluh hamba Allah…
Skenarionya seperti ini, Kawan:
Engkau seorang anak muda yang sehat. Hadir di Ijtima’ dan pulang dalam keadaan sehat. Tapi engkau telah membawa (carrier) virus Covid-19 itu bersamamu sebagai hasil interaksimu dengan jamaah lain.
Engkau pulang naik bus. Di dalam bus, engkau bertemu Ibu Siti di sana. Dan virusmu mengenainya. Para ahli menyebut: Ibu Siti itu punya kemungkinan meninggal dunia 8 %.
Turun dari bus, engkau naik kapal. Di atas kapal, engkau bertemu seorang Bapak Hasan. Dan virusmu menghinggapinya. Bapak Hasan tak bersalah itu punya peluang meninggal dunia 8 %. By the way, di kapal itu memangnya penumpangnya hanya engkau berdua dengan Bapak Hasan itu?
Di mushalla kapal, di antrian makan, dan mungkin saat engkau ber”jaulah”…berapa banyak hamba-hamba Allah yang kau temui, mungkin kau salami…
Dan akhirnya, engkau tiba di kampung halamanmu dalam keadaan sehat. Engkau tersenyum cerah dan berkata: “Coba lihat, saya hadir ijtima’ dan sekarang sudah tiba di kampung halamanku dalam keadaan sehat!”
Tapi engkau lupa, di sepanjang perjalananmu, engkau telah menjadi “si penyebar” virus kepada orang-orang tua, ibu-ibu hamil, orang-orang yang ringkih daya tahannya, bahkan anak-anak!
Mungkin ada puluhan, lalu dari puluhan itu menjadi ratusan, dari ratusan menjadi ribuan. Dan semuanya berasal dari engkau, yang tidak mematuhi perintah “Tinggal di rumah saja”. Dari engkau yang menyalahpahami makna “Tawakkal” yang sebenarnya. Dari engkau yang katanya menjuangkan Sunnah, tapi mengabaikan Sunnah Nabi dan para sahabatnya dalam menyikapi wabah penyakit…
Karenanya, saya tidak ragu mengatakan bahwa siapa pun yang sengaja mengabaikan arahan dan panduan para ulama dalam hal ini, ia telah berdosa. Bahkan di akhirat nanti, ia akan memikul semua pertanggungjawaban atas korban yang berjatuhan karena sikap bebal dan percaya diri tanpa ilmu itu.
Jika ia memotivasi orang lain untuk mengabaikan arahan dan panduan para ulama itu, maka dosanya lebih besar lagi. Karena mendorong orang lain menjadi jalan yang membinasakan banyak orang.
Dan itu semua ada dalam ilmu Fiqih!
***
Maka belajarlah, Kawan…
Tuntutlah ilmu. Beragama itu tidak hanya sekedar berkeliling menyampaikan dakwah. Lagi pula, apa yang hendak didakwahkan jika ilmu tiada.
Maafkan jika terlalu menusuk. Inilah adalah amar ma’ruf nahi mungkar. In uriidu illa al-ishlaah…
Akhukum,
Muhammad Ihsan Zainuddin