Siang itu sungguh terik. Perjalanan itu bukan perjalanan yang mudah. Itu adalah perjalanan penaklukan Negeri Agung bernama Mekkah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat mulianya berpuasa kala itu. Hingga saat pasukan agung itu tiba di suatu tempat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan:
إنَّكُمْ قدْ دَنَوْتُمْ مِن عَدُوِّكُمْ، وَالْفِطْرُ أَقْوَى لَكُمْ
“Sesungguhnya kalian telah mendekati musuh kalian, dan berbuka itu lebih menguatkan kalian…”
Mendengar itu para sahabat pun terbagi dalam 2 pilihan: ada yang memilih membatalkan puasanya dengan berbuka. Sebagian lagi memilih untuk tetap berpuasa. Tidak menjadi soal. Karena memang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat itu hanya memberikan pilihan.
Dan perjalanan agung itupun terus berlanjut…
Hingga akhirnya tapak kaki mereka berhenti di satu tempat yang lain. Kali ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat satu situasi yang berbeda dari sebelumnya. Perjalanan semakin jauh, dan tenaga semakin berkurang. Sementara cuaca semakin terik.
Maka dengan penuh kasih, beliau berkata:
إنَّكُمْ مُصَبِّحُو عَدُوِّكُمْ، وَالْفِطْرُ أَقْوَى لَكُمْ، فأفْطِرُوا
“Sungguh kalian telah semakin dekat pada musuh kalian.
Dan berbuka itu lebih menguatkan kalian. Maka berbukalah kalian!”
Kali ini bukan lagi saatnya untuk memilih! Keringanan (rukhshah) untuk memilih antara puasa dan berbuka itu sekarang telah menjadi amaran kenabian. Sebuah perintah Nabawi yang harus dipatuhi.
“…dan itupun menjadi sebuah ‘azimah (keharusan), maka kami pun berbukalah,” begitu ujar Abu Sa’id al-Khudry –radhiyallahu ‘anhu- yang menuturkan kisah ini dan diriwayatkan dalam Shahih Muslim.
***
Tapi, kisah itu belum usai sampai di situ…
Entah dalam perjalanan yang sama, atau dalam perjalanan lain (para gurunda ulama hadits dan tarikh sudi kiranya mengajari kami tentangnya…)…
Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu mengisahkan:
Tetiba Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat para sahabatnya bergerombol. Ternyata seorang pria terbaring lemah di bawah naungan kawan-kawanya. Ia diteduhkan sembari sebagian orang memercikinya air. Ia tampak sangat payah.
“Ada apa ini?” tanya Baginda Rasul.
“Ia sedang berpuasa,” jawab para sahabat.
Di situlah Baginda Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam menitahkan sabda fenomenalnya:
لَيْسَ مِنَ البِرِّ الصَّوْمُ فِي السَّفَرِ
“Bukanlah termasuk kebajikan: berpuasa dalam perjalanan!”
Kisah ini diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari.
Pesannya jelas untuk kita semua.
Jika engkau merasa hebat dengan berpuasa dalam perjalanan berat, maka anggapanmu itu keliru!
Jika engkau merasa lebih shaleh dengan berpuasa meskipun fisikmu payah, maka anggapanmu itu sesat!
Jika engkau merasa lebih taqwa dengan berpuasa meski nyawamu di ujung tanda, maka engkau tidak sedang di jalan ketaqwaan!
Jika engkau pikir berpuasa dalam situasi genting nan berat itu jalan penghambaan, maka sebenarnya engkau sedang di jalan pembangkangan!
Jika engkau pikir berpuasa lebih mendekatkanmu pada Allah saat puasa justru membawa mudharat, maka engkau justru terlempar menjauh dari Allah!
Maka (dalam riwayat al-Tirmidzy) saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan telah mencontohkan kepada para sahabat bagaimana beliau membatalkan puasanya dengan meneguk air, lalu tetiba beberapa orang masih ada yang bersikukuh untuk berpuasa, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
أُولَئِكَ العُصَاةُ
“Mereka benar-benar para pendurhaka!”
***
Jika Anda tidak tahu, sekarang Anda harus tahu bahwa seperti itulah ruh dan spirit Syariat Islam yang kita yakini kebenarannya ini. Ketaqwaan, keshalehan dan kebajikan tidak melulu diukur dengan seberapa keras hati dan jiwamu menjalankan satu keshalehan, meskipun ia berujung mudharat.
Ketaqwaan dan keshalehan di dalam Islam bukanlah ketaqwaan dan keshalehan yang kering dan gersang dari pertimbangan-pertimbangan ilmu dan nalar sehat. Justru itulah mengapa seorang muslim tidak hanya diperintah menegak shalat, puasa dan seterusnya. Tapi justru menuntut ilmu dan mengasah nalar (melalui tadabbur dan tafaqquh) menjadi salah ibadah agung yang melandasi segenap ibadah yang lain.
Maka saat Rasulullah mengatakan:
“Bukanlah termasuk kebajikan…”
“…merekalah para pendurhaka!”
adalah bukti bahwa “ibadah murni”mu (seperti puasa) tidak serta-merta menjadi ketaqwaan, keshalehan dan kebajikan, terutama jika mengabaikan pertimbangan-pertimbangan lain yang juga dikukuhkan di dalam Syariat Islam, seperti: maslahat dan mudharat!
Jika tidak begitu, maka dari mana ceritanya muncul kaidah-kaidah dahsyat, seperti:
Kaidah Al-Dharar yuzalu (Semua bentuk mudharat harus dihilangkan);
Kaidah La dharara wa la dhirar (Tidak boleh membahayakan diri dan orang lain dalam Islam);
Kaidah al-Masyaqqah tajlib al-taysir (Kesulitan itu menyebabkan munculnya kemudahan);
Kaidah Dar’u al-Mafasid muqaddam ‘ala Jalb al-Mashalih (Mencegah bahaya/kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil manfaat), dan yang lainnya.
Maka kalau Anda bahkan tidak bisa membaca teks-teks kaidah itu TANPA baris harakat itu, apalagi tak mengerti makna dan aplikasi kaidah-kaidah ini, janganlah banyak berbicara soal agama!
Serahkan saja kepada ahlinya. Karena jika Anda masih saja terus mengoceh atas nama agama dalam situasi itu, Anda benar-benar seperti yang disebut oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “…sesat dan menyesatkan…” Sesat sendiri, lalu menyesatkan orang lain.
Sayang beribu sayang, hari ini jalan media daring memang terbuka begitu luas. Siapapun –sekali lagi siapapun!- bebas menuliskan dan menyebarkan apa saja yang terlintas di benaknya. Apa saja, meskipun ia tidak punya apa-apa di situ. Apalagi ilmu. Sebagian lagi seperti pemain sepak bola, yang hanya mengoper berita dan info yang tidak pernah bisa divalidasi kebenarannya.
Maka dengan bermodalkan baca status FB, sharing via WA, postingan Instagram dan menonton Youtube:
Seorang yang baru hijrah setahun-dua tahun belakangan sudah berani mengkritisi fatwa para ulama!
Seorang yang baru belajar pengobatan dalam 1-2 workshop sudah merasa lebih jago dari para ahli dan spesialis yang harus mengulik sekian banyak kasus untuk bisa merebut spesialisasinya!
Dan Anda bisa menyaksikan semua fenomena itu pada hari-hari ini…
Bermodalkan hadits dha’if dan analisa Ushul Fiqih yang payah, tidak sedikit orang menjadi bebal mempersoalkan fatwa para ulama yang bahkan berijtihad secara berjamaah.
Dalam bidang Kesehatan misalnya, bermodalkan asumsi antah-berantah kemudian mengklaim herbal ini atau obat ini adalah obat penyembuh ini dan itu. Bahkan tidak jarang “lebih hebat” dari para ahli yang bertahun-tahun melakukan riset demi riset.
Jadi cukuplah, Saudaraku….
Segeralah sadarkan diri. Bangunlah dari mimpi yang kelamaan. Hadapkanlah wajah kita masing-masing ke cermin, dan bertanyalah: “Memangnya aku ini siapa sebenarnya?”
Sadarkanlah diri segera, karena itu adalah jalan selamat, sekaligus jalan bahagia kita…
Ramadhan 1443 H
Akhukum,
Muhammad Ihsan Zainuddin