Jika engkau berbicara tentang buku dalam kehidupan ulama Salaf, maka itu akan menjadi serangkai kisah-kisah yang menakjubkan. Membersamai sebuah buku atau kitab bagi para ulama salaf adalah cinta. Tentu saja bukan sekadar sebuah cinta mati pada buku sebagai sebuah buku, atau pada kitab sebagai sebuah kitab; karena cinta model seperti itu hanya berlaku untuk Allah dan RasulNya. Cinta para Salaf pada buku atau kitab tentu saja adalah cinta pada apa yang termuat dan termaktub dalam buku-buku itu.
Ini pula yang kelak akan menjelaskan, bahwa tidak semua yang bernama “buku” atau “kitab” layak untuk mendapatkan cinta. Kelayakan untuk dicintai itu sangat bergantung pada pesan-pesan yang tertuang dan tertoreh di dalamnya. Jika yang tertuang adalah pesan-pesan yang membuatmu semakin cinta pada Allah dan RasulNya, membuatmu semakin rindu pada hayat akhirat; maka itulah buku terindah yang layak kau cintai. Tapi jika pesan-pesan yang termuat dalam sebuah buku hanya menjauhkan, atau mengaburkan cintamu pada Allah dan RasulNya, atau mengaburkan jejak perjalananmu ke akhirat; maka itulah sekeji-keji buku dan kitab bacaanmu!
Atas dasar cinta itulah, kemudian para ulama meletakkan dasar-dasar adab berinteraksi dengan buku dan kitab dalam: “Ilmu[1] Adab Penuntut Ilmu” atau Adab Thalib al-‘Ilm. Jika Anda membaca berbagai referensi seputar ilmu tersebut, Anda akan menemukan bahwa para ulama yang menulis tentangnya, nyaris tidak pernah lupa untuk menorehkan bab-bab atau pasal-pasal khusus tentang bagaimana seharusnya penuntut ilmu berinteraksi dengan kitab atau bukunya, bagaimana menuliskan buku (terutama di zaman ketika percetakan buku masih menjadi mimpi di siang bolong), bagaimana memilih kertas, pena dan tinta untuk menuliskan kitab itu.
Bahkan, sebagian ulama-seperti al-Imam Dawud al-Zhahiry-konon menjadikan buku sebagai pertimbangan penting dalam menjahitkan pakaiannya! Baju itu harus bisa mengakomodir penyimpanan buku yang mereka bawa bersama saat keluar rumah. Sehingga satu bagian lengan akan dibuat lebar begitu rupa, lalu bagian lengan yang lainnya akan dibuat normal. Dawud al-Zhahiry menjelaskan alasannya:
اَلْوَاسِعُ لِلْكُتُبِ، وَاْلآخَرُ لَا يُحْتَاجُ إِلَيْهِ
“Yang lebar ini untuk (membawa) kitab-kitab,
sementara yang lain (baca: yang sempit) tidak diperlukan.”
Masih dalam konteks “cinta”, seorang ulama pernah ditegur oleh istrinya karena terlalu banyak membeli kitab dan buku. Lalu ia merespon teguran itu dengan sebuah syair:
Dan seorang wanita berujar:
“Tlah kau habiskan untuk buku
segenap harta yang ada di tanganmu itu!”
Tapi padanya aku berujar:
“Biarkanlah aku dengan semua itu,
mungkin kelak akan kulihat sebuah buku
yang akan menuntunku
untuk bahagia menerima kitab amalku
dengan tangan kananku”.
Yah, syair itu-sekali lagi-menegaskan, bahwa cinta mereka pada buku bukan semata-mata karena itu sebuah buku, yang memberikan kenikmatan tersendiri saat membaca dan membuka lembarannya.
Tapi ini adalah tentang cinta yang melahirkan rindu pada negeri akhirat. Cinta yang melahirkan obsesi tentang kebahagiaan abadi di dalam Firdaus. Mereka merindui buku, karena berharap-kelak-dapat bahagia sebahagia-bahagianya, lantaran akhirnya berhasil menerima catatan amalnya dengan tangan kanan mereka…
***
Ibnu al-Jauzy rahimahullah, salah seorang ulama paling produktif dalam menulis dan juga berdakwah, pernah mengungkapkan hasratnya pada buku dengan kalimat:
إذا وجدت كتابًا جديدًا فكأني وقعت على كنز
“Bila aku menemukan sebuah buku baru,
maka aku seperti baru saja menemukan sebuah harta karun.”
Seorang ulama hadits besar sebelum Ibnu al-Jauzy, namanya al-Imam al-Zuhry rahimahullah, bahkan dikeluhkan oleh istrinya lantaran begitu sibuk dengan kitab-kitabnya. Sang istri mengatakan:
والله إن هذه الكتب أشد علي من ثلاث ضرائر
“Demi Allah, sungguh buku-buku ini jauh lebih berat bagiku daripada (kehadiran) 3 orang madu!”
Nah, jadi Anda tenang saja, karena ternyata para ulama besar pun tidak jarang sering dikeluhkan oleh pasangan-pasangan mereka!
Seorang ulama besar lain, namanya Abdullah bin al-Mubarak rahimahullah, pernah dikomplain oleh kawan-kawannya lantaran jarang duduk bareng dengan mereka, karena terlalu sering menyendiri dengan kitab-kitabnya. Lalu apa respon Abdullah bin al-Mubarak rahimahullah? Beliau mengatakan:
إني إذا كنت في المنزل جالست أصحاب محمد
“Sesungguhnya aku ini, jika aku di rumah,
aku duduk ‘bermajlis’ bersama para sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam!”
Maksudnya: melalui kitab-kitab itu, ia akan berinteraksi dengan ilmu yang diwariskan dan diriwayatkan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
***
Zaman manusia semakin lama semakin gaduh. Kehadiran media-media sosial-misalnya-semakin menambah kegaduhan, dan mengalihkan jiwa serta pikiran kita dari apa yang seharusnya dipikirkan. Lantaran beragam isu yang berseliweran dan hilir mudik di layar smartphone kita, kita justru menjadi stupid people karena memberikan perhatian pada apa yang tidak perlu untuk kita perhatikan.
Di zaman gaduh seperti ini, betapa pentingnya setiap kita untuk menepi. Menepikan hati dan pikiran. Menjauh dari keriuhan yang gaduh. Lalu mengambil buku atau kitab kita yang selama ini tak tersentuh.
Percayalah…
Rasanya sangat jauh berbeda, antara menatap layar smartphone dan meladeni semua yang muncul, dengan menatap halaman-halaman buku itu. Pada lembar-lembar buku itu tak ada keriuhan. Tak ada kegaduhan. Seperti duduk di sebuah taman bunga, yang sesekali ada kicauan murai bersama semilir angin pagi…
Ah, tenangnya…
Karena itu, seorang ulama Salaf pernah berpesan pada sahabatnya dengan mengatakan:
استعن على وحشة الغربة بقراءة الكتب، فإنها ألسنٌ ناطقة، وعيون رامقة
“Hadapilah kelamnya kesendirian itu dengan membaca buku,
karena (buku-buku) itu layaknya seperti lisan yang bertutur dan mata yang memandang(mu).”
Begitulah. Buku akan menjadi teman dalam sunyi, terutama di zaman yang gaduh ini. Maka, bacalah bukumu, hingga kelak engkau menerima buku amalmu dengan tangan kananmu.
Akhukum,
Muhammad Ihsan Zainuddin
Sumber bacaan:
Khalid bin ‘Abd al-‘Aziz al-Nashshar, al-Idha’ah fi Ahammiyah al-Kitab wa al-Qira’ah, Dar al-‘Ashimah)
[1] Begitulah, menurut saya, kajian tentang Adab Penuntut Ilmu mungkin sudah layak untuk dikukuhkan sebagai sebuah ranah ilmu tersendiri dalam tradisi keilmuan Islam. Mengingat begitu pentingnya ilmu ini, dan begitu banyaknya karya ilmiah para ulama Islam yang secara spesifik membahas tema ini.