Ibu itu hanya merungut marah kepada anak-anaknya.
“Aduuuh, kamu sini! Duduk di samping Ummi!”
“Kamu itu ya…Tuh, kan basah lagi baju Ummi!”
Hampir di setiap majlis pengajian, ibu itu hanya bisa mengomel dan mengomel. Tapi omelan dan hardikan tak kenal henti itu sepertinya tak pernah berbekas pada anak-anak mungilnya. Mereka tetap saja mengacau dan membising dalam majlis pengajian dimana seharusnya suasana tenang menyimak nasihat-nasihat Sang Ustadzah.
Maka dalam setiap pertemuan pekanan itu, anak-anak mungil itu “selalu berhasil” dengan melakukan apa saja yang mereka mau. Sang Ibu –seperti biasa- hanya bisa marah dan menghardik. Namun ia selalu saja “berhasil” membuktikan bahwa sebagai ibu ia telah “gagal” memegang kendali anak-anaknya…
Ada apa sebenarnya?
Benarkah “serumit” itu?
***
Anak-anak kita adalah manusia. Persis sama dengan kita. Tiada bedanya. Kecuali bahwa secara fisik dan psikis mereka lebih kecil dari kita. Dan –tentu saja- masih jauh dari kapasitas pemahaman dan ilmu kita sebagai orangtua. Mungkin begitu…
Tapi fakta bahwa mereka adalah manusia jelas tidak bisa dipungkiri. Mereka bukan kucing, atau semacamnya. Sekali lagi, mereka manusia. Manusia-manusia kecil. Maka sebagai manusia, sudah tentu mereka punya akal fikiran. Juga punya hati. Dan jika mereka normal dan sehat belaka, berarti akal pikiran dan hati itu pasti berfungsi sebagaimana mestinya: berpikir, mencerna, dan memahami.
Sudahkah kita menyentuh sisi akal pikiran dan hati mereka dengan sudut pandang itu?
Di situlah letak soalnya seringkali.
Kita –sebagai orangtua- seringkali meremehkan manusia-manusia kecil itu!
Kita sering menganggap: “Ah, mereka tahu apa? Belum tentu mereka paham…”
Kita tidak sadar, bahwa dengan kalimat dan pernyataan seperti itu, kita telah membangun sebuah blok-mental dalam diri kita sendiri yang –cepat atau lambat- akan membahayakan anak-anak kita, untuk di kemudian hari akan membahayakan kita, para orangtua mereka.
Banyak pesan kebaikan yang akhirnya tidak sampai, karena “Ah, mereka tahu apa? Mereka nggak bakal paham…”
Banyak koreksi-koreksi penting yang akhirnya tidak terutarakan, karena kita terlalu meremehkan kemampuan akal pikiran dan hati mereka untuk mencerna, memahami –meskipun kemudian mengendapkan pesan kita lebih dahulu dan tidak langsung merealisasikannya, tapi itu tersimpan dengan “indah” di hatinya, karena kita “memanusiakan” manusia-manusia kecil itu…
Kita lupa bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu memperlakukan anak-anak kecil di zamannya selayaknya manusia dewasa.
Kepada Ibnu ‘Abbas kecil –radhiyallahu ‘anhuma-, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berpesan: “Wahai anak kecil, jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu…”
Dan kita pun tahu akhirnya, Si Anak kecil yang mendapat pesan itu akhirnya menjadi seorang ulama besar yang digelari “Habr al-Ummah” (ulamanya umat ini)!
***
Sayangnya, kebanyakan kita para orangtua seringkali kesulitan untuk bersikap rendah hati sekaligus berbesar hati di saat bersamaan untuk memanusiakan anak-anak kita. Bahkan untuk sesuatu yang “sebenarnya” sederhana: mendengar dan berbicara baik-baik.
Dalam kasus Ibu aktifis dakwah tadi misalnya, saya kira kebisingan dan “kenakalan” yang terus berulang dari waktu ke waktu itu bermula dari situ.
Sang Ibu tidak pernah bertanya baik-baik: “Kenapa kamu terus bising dan berlarian ke sana-ke mari selama pengajian, Nak?”
Lalu mencoba mendengarkan penjelasan sang anak tentang itu. Kemudian mencoba memberikan tawaran dan solusi kepada sang anak.
Sang Ibu juga mungkin tidak pernah berbicara lugas dan baik-baik kepada anak-anaknya, bahwa:
“Dalam sebuah majlis ilmu, kita harus menjaga adab, ya Nak…Jangan mengeraskan suara, apalagi berlarian ke sana-ke mari…”
“Nak, kalau kamu mengulangi lagi hal yang sama, kita sepakat ya bahwa kamu mendapatkan hukuman…”
Hanya ada pembiaran yang dilanjutkan hardikan tanpa ada penjelasan yang didengarkan dengan baik (baik oleh Sang Ibu, maupun oleh si anak)!
Maka tidaklah mengherankan jika kemudian masalahnya terus saja bergelinding tanpa solusi. Entah sampai kapan. Mungkin sampai anak-anak itu dewasa, dan Sang Ibu menderita di hari tuanya akibat kelalaiannya sendiri. Semoga saja tidak. Semoga anak-anak itu mendapatkan hidayah dari Allah.
Jadi berbicaralah dengan manusia-manusia kecil itu selayaknya manusia, karena mereka adalah anak-anakmu. Mereka adalah jejak-jejak kakimu menuju Surga Firdaus.
Maafkan saya, karena saya juga belum berhasil menjadi orangtua yang baik.
Sekali lagi, mohon maaf!
Makassar, 20 Februari 2020
Muhammad Ihsan Zainuddin