KONSPIRASI…

  • 3 min read
  • Nov 21, 2020

 

“Musuh takkan mampu mengalahkanmu.
Engkaulah yang payah,
Karena membukakan pintumu
untuk mereka…”

(Prof. DR. ‘Abd al-Karim Bakkar)

***

Tahun 1924.
Dinasti nan megah yang telah berkuasa
selama kurang lebih 8 abad lamanya
itu akhirnya runtuh dan berakhir kisahnya.
Dinasti yang telah mengharumkan namanya
hingga ke segenap penjuru dunia.

Khilafah Utsmaniyyah.
Saat kekhilafahan terakhir itu runtuh,
kebanyakan orang akan menyalahkan
sebuah nama yang memang keji:
Mustafa Kamal Ataturk.

Konspirasi Yahudi-Zionis.
Itu sebuah terma lain yang sering kita dengar,
Atau -bahkan- sering kita ucapkan,
saat berbicara tentang
kejatuhan Khilafah Utsmaniyyah itu.

Tanpa mengabaikan bahwa
“Konspirasi Yahudi-Zionis” dan “Ataturk”
berperan penting dalam kejatuhan itu,
tapi kita seringkali lupa
(atau pura-pura lupa) bahwa:
semua itu hanya faktor luaran belaka.
Seakan kita tidak pantas
mendapatkan semua kejatuhan
dan kekalahan sejarah itu!

Kita lupa menyadari bahwa
Kekhalifahan terakhir umat kita itu:
Memang telah mengukir
sebab-sebab kejatuhan itu sejak lama.
Melemahnya tarbiyah para pemimpin.
Penyimpangan yang perlahan dari Syariat.
Pengabaian dakwah di kawasan-kawasan baru.
Kemerosotan akhlak para pemimpin,
bahkan juga oknum di tengah ulama.
Memberi amanah kepada yang tak layak.
Tindak-tindak khianat dari dalam.

Maka atas semua itu:
“Konspirasi Zionis” dan “Ataturk”
hanya hadir untuk “menunaikan tugas”
peruntuhan dan penjatuhan itu.

Khilafah Utsmaniyah memang
telah melengkapi segenap syaratnya
untuk jatuh dan berakhir;
setelah selama berabad-abad lamanya
ia berdiri kukuh menjulang dunia,
meski panah-tombak konspirasi dunia
terbang menderu hendak meruntuhkannya!

Yah,
“Konspirasi Zionis” dan “Ataturk”
tidak lebih dari satu atau dua cuil
dari ribuan konspirasi yang pernah
hadir dalam panggung sejarah Utsmaniyah.
Tapi itulah yang menggenapkan
akhir ceritanya dalam sejarah…

***

Tanpa kita sadari…
Memang kita seringkali begitu.
Menyimpan pola pikir orang kalah,
yang seringkali menimpakan
beban kejatuhan kita
kepada orang lain.
Lalu kita pura-pura lupa:
bahwa musuh takkan kuasa
jika diri kita kuat perkasa
dan tak layak untuk binasa!

Memang kita seringkali begitu.
Saat jatuh dalam kegagalan,
pihak lainlah yang akan selalu
menjadi sebab dan tertuduh.
“Kita seharusnya tidak runtuh,
andai tiada konspirasi musuh!”

Kita tidak pantas salah.
Kita tidak layak kalah.
Meskipun kita pemalas.
Meskipun kita payah.
Meskipun kita tak pantas.
Tapi pasal konspirasi musuhlah,
akhirnya kita terjerembab ke tanah!

***

Maka tidak heran dan takjub:
Jika dari jiwa-jiwa semacam itu
terlahir “Para Konspirasifilis”
yang mengidap penyakit “Konspirasifilia”.
Manusia-manusia pecandu konspirasi.
Nyaris semua peristiwa yang terjadi
“harus” ditemukan benang konspirasinya!

Ini bukan omong-omong warung kopi.
Beberapa riset ilmiah yang dilakukan
pada orang-orang Barat pengidap “Konspirasifilia”
menunjukkan bahwa penyakit ini
lahir dari kondisi jiwa yang terpuruk,
yang selalu merasa kalah dan payah,
tapi tetap ingin terlihat digjaya dan kokoh!

Maka atas setiap kekalahannya itu
“isu konspirasi”lah cara mudah untuk itu.
“Isu konspirasi” adalah
cara mudah dan malas untuk mengklaim:
“Saya sebenarnya hebat,
tapi pasal konspirasi musuhlah saya jatuh!”

Tapi di atas semua itu,
yang paling menyedihkan hati dan jiwa
jika yang terpapar “Konspirasifilia” itu
adalah para ustadz dan aktifis mesjid.
Orang-orang yang seharusnya mengagungkan
semua instrumen keilmuan yang diagungkan Islam.

***

Wabah “Konspirasifilia” ini sungguh bahaya.
Mengalihkan fokus perjuangan yang utama.
Perbaikan kualitas diri sebagai hamba pun terlupa.
Wabah “Konspirasifilia” ini:
menumpulkan nalar ilmu seorang muslim.
Kesesatan berfikir merebak tak terkira.
Status viral jadi sumber talaqqi sehari-hari.
Potongan video jadi dalil dan argumentasi.
Malas berfikir mendalam.
Malas membaca hingga tuntas.
Malas bersabar menyimak hingga jelas.

Dan betapa mengerikannya,
jika yang mengidap itu semua
adalah para ustadz panutan kita!

***

Maka:
Belajarlah mengakui kepayahan diri.
Agar terbit semangat jiwa di hati,
untuk memperbaiki kualitas diri.
Dan tak lagi “menyalahkan lantai,
saat diri tak mampu menari”.

 

Akhukum,
Muhammad Ihsan Zainuddin
https://IhsanZainuddin.com

Jangan lupa gabung di Telegram:
https://t.me/IhsanZainuddin
juga di Instagram:
https://www.instagram.com/m.ihsanzainuddin/

NB:

(Jika Anda punya waktu,
sebuah artikel menarik berbahasa Arab
berjudul: “Hal al-Waba’ Mu’amarah?”
-Apakah Pandemi Adalah Konspirasi-
penting untuk Anda baca.
Ditulis oleh DR. Ahmad bin ‘Abdurrahim al-‘Umar
di sini:
https://dorar.net/article/2038 )

 

Related Post :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *