Dalam satu kisah hidupnya, Manusia Mulia, kekasihku dan kekasihmu itu pernah melewati satu episode paling memilukan. Episode penuh kepahitan dan air mata. Tapi episode itu tetap harus dilintasinya, meski ia sedang menuju puncak kurva kejayaannya.
Episode “Tiga Tahun” yang memilukan.
“Tiga tahun”[1]yang sangat pedih, ketika orang-orang yang selama ini dikenal dan mengenalnya bersepakat untuk menyisihkannya dari gelanggang. Para pembencinya menorehkan satu akad tertulis: bahwa mereka akan memboikotnya, bahkan memboikot sesiapa yang membela dan melindunginya.
Selembar “shahifah” penuh kezhaliman telah digantungkan para durjana itu di dinding Ka’bah:
Memboikot Bani Hasyim dan Bani al-Muththalib: tidak boleh ada talian pernikahan, tidak ada transaksi jual-beli, tidak boleh bermajlis dengan mereka, tidak mempergauli dan tidak berbicara dengan mereka: hingga mereka menyerahkan Sang Manusia Mulia itu kepada para durjana itu!
Maka sejak malam pertama bulan Muharram tahun 7 kenabian itu: Bani Hasyim dan Bani al-Muththalib pun tersingkirkan ke dalam “lorong” (Syi’ib) Abu Thalib. Mereka terisolasi di celah kawasan itu untuk melewati hari-hari yang memilukan.
Agar engkau tahu betapa perihnya “Tiga tahun” itu, biarkan kututurkan untukmu sepenggal kisah di “Tiga tahun” itu…
***
Seorang sahabatnya pernah bercerita begini:
“Malam itu, di Mekkah aku bersamanya. Aku keluar sebentar untuk buang air kecil. Tetiba saat aku menunaikan hajatku itu, kudengarkan suara gemeretak di bawahku akibat terbilas oleh air seniku…
Aku pun memeriksanya. Ternyata itu adalah sepotong kulit unta yang telah mengeras.
Aku pun mengambilnya. Lalu membasuhnya. Setelah itu, aku membakarnya, untuk kemudian aku tumbuk hingga halus di antara 2 batu. Lalu aku memakannya sembari ‘membilasnya’ dengan meminum air.
Dengan itu, aku menjadi kuat setidaknya 3 hari lamanya…”
Bahkan dalam kisahnya yang lain, Sa’ad bin Abi Waqqash -begitu nama sahabatnya itu, radhiyallahu ‘anhu- mengisahkan:
“Pernah suatu malam, aku sungguh dibelit rasa lapar. Hingga kakiku menginjak sebenda yang lunak. Lalu aku masukkan benda itu ke mulutku. Dan hingga kini aku tak tak: benda apa itu gerangan?”
Duhai, keperitan hidup macam apa itu?
Hingga hanya sekeping kulit unta saja yang dapat kau makan demi melanjutkan hidup…
***
Keperitan itu sedemikian memuncak, ketika para pembenci itu menghentikan segalanya!
Jika rombongan pedagang tiba di Mekkah membawa stok pangan, maka dengan segera para pembenci itu menyerobot barang-barang itu tanpa belas kasihan.
Dengarlah apa ujaran Abu Lahab yang bejat itu:
“Wahai para tuan pedagang! Mahalkan semua harga barang-barang kalian untuk para pengikutnya, agar mereka tak mampu membeli apapun dari kalian. Jangan khawatir, Tuan-tuan…kalian pasti tahu bagaimana hartaku dan kredibilitasku! Saya yang akan menjamin bahwa kalian tidak akan menanggung kerugian sedikitpun…”
Maka…
Mendengar dan melihat itu, pulanglah para sahabat Sang Manusia mulia itu ke haribaan keluarga mereka dalam hati yang luka. Harga barang-barang itu terlalu tinggi dan mahal. Mereka tak sanggup lagi membelinya.
Hati mereka semakin luka ketika mendengarkan rintihan anak-anak dan wanita yang kelaparan, tanpa mengenggam sesuatu pun untuk dimakan…
Hingga mereka -manusia-manusia shalih itu-hanya memakan dedaunan Mekkah yang selama ini hanya mereka berikan kepada unta-unta mereka!
Dan itu bukan kisah sehari-dua hari.
Itu adalah kisah “Tiga Tahun Lamanya”…
***
Sungguh pedih penuh keperihan kisah “Tiga Tahun” itu…
Tapi kisah pedih itu tak menghentikan dakwahnya. Begitu pula para sahabatnya. Hidup di dunia ini memang begitu adanya. Ini tempat dimana ujian demi ujian berkelindan silih berganti. Dari yang kecil menuju yang besar. Lalu mengecil kembali.
Tapi selalu ada harapan. Selalu ada kemudahan yang mendampinginya. Bukankah “bersama kesulitan selalu ada kemudahan. Bersama kesulitan selalu ada kemudahan…”?
Mungkin jika aku dan kau hadir di sana, dalam keperitan yang pahit itu, kita akan mewujud sebagai manusia yang telah kehilangan harapan. Yang terbayang hanyalah kematian untuk mengakhiri segala derita…Ini bukanlah sehari-dua hari. Bukan sebulan-dua bulan. Ini adalah kisah “Tiga Tahun”!
Tapi di dunia ini: apa yang abadi, Kawan?
Jika nikmat dan kesenangan dunia itu takkan abadi, maka kepahitan dan deritanya pun takkan mungkin abadi, bukan?
***
Hingga kita pun tahu dari sejarah: bagaimana kepahitan “Tiga Tahun” itu berakhir…
Tersebutlah 5 pria pemberani yang tak rela melihat kezhaliman tak terkira itu. Kelima pria hebat itu bersepakat hati untuk mengakhiri kekejaman “Tiga Tahun” itu.
Hisyam ibn ‘Amr ibn al-Harits.
Zuhair ibn Abi Umayyah.
Al-Muth’im ibn ‘Adiy.
Zam’ah ibn al-Aswad.
Abu al-Bakhtary ibn Hisyam ibn al-Harits.
Itulah mereka para pemberani itu…
Maka di pagi itu, seusai menuntaskan putaran ke-7 thawafnya, ia menyeru pada khalayak:
“Hai sekalian penduduk Mekkah! Bisakah kita menikmati makanan dan memakai pakaian yang layak, sementara Bani Hasyim nyaris binasa: tidak boleh membeli dan menjual?
Demi Allah, aku takkan diam hingga lembaran ‘shahifah’ yang zhalim itu dirobek!”
Berdirilah Abu Lahab dari sudut Masjid itu berteriak: “Engkau berdusta! Demi Allah, lembaran itu takkan disobek!”
“Engkau -demi Allah- lebih pendusta!” jawab Zam’ah ibn al-Aswad. “Kami tak pernah ridha dengan lembaran itu saat ia ditulis!,” ujarnya lagi.
“Zam’ah benar adanya. Kami tak pernah ridha dan setuju dengan yang tertulis didalamnya!” tegas Abu al-Bakhtary.
Sementara itu, Abu Thalib sejak tadi ternyata sudah hadir pula di sudut Masjid itu.
Ia datang, karena keponakannya, Sang Manusia mulia itu telah diberitahu oleh Tuhannya tentang lembaran “Shahifah” keji itu. Bahwa Dia, Sang Maha Perkasa itu telah mengirimkan makhluk kecilnya (anai-anai) untuk memamah helai lembaran itu, dengan semua kezhaliman isinya, kecuali NamaNya. Yah, semua dalam lembaran “Shahifah” itu musnah, selain Nama Allah…
Abu Thalib berdiri, lalu menyampaikan hal itu kepada para Tetua Quraisy yang bertengkar itu.
“Jika (Muhammad) berdusta tentang itu, maka akan kami serahkan ia pada kalian. Tapi jika ia benar, maka kalian hentikanlah semua pemboikotan dan kezhaliman terhadap kami ini!” ujar Abu Thalib.
“Itulah jalan tengahnya,” ujar para Quraisy itu.
Al-Muth’im ibn ‘Adiy pun berdiri untuk mengambil “Shahifah” itu. Dan dilihatnya semua bagiannya telah musnah, kecuali serpihan yang bertuliskan: “Bismika-Llahumma…” (Dengan menyebut namaMu, ya Allah).
Kisah “Tiga Tahun” itupun berakhir di sana. Lembar “Shahifah” itu telah binasa. Sang Manusia mulia itupun beranjak bersama orang-orang yang membersamainya, keluar meninggalkan Syi’ib Abu Thalib itu dalam kebahagiaan yang membahana…
***
Sedemikianlah kehidupan ini, Kawan.
Kelapangan dan kesempitan akan selalu menjadi bumbu. Oh bukan sekadar bumbu, tapi ia akan menjadi adegan-adegan utama yang akan kau alami hingga ke penghujungnya. Maka yang selalu menjadi soal adalah bukan bagaimana memilih “adegan-adegan kesenangan” saja dalam hidupmu, agar “adegan-adegan kesusahan” tak pernah kau cicipi. Karena engkau memang takkan mampu memilih itu.
Tapi ini tentang bagaimana engkau dan seperti apa dirimu, saat tiba waktunya untuk memainkan “adegan kesenangan” dan “adegan kesulitan” itu: apakah engkau memainkannya sebagai “aktor” (baca: hamba) yang terbaik, atau tidak lebih dari sekedar “aktor karbitan” yang bermodal tampang, tapi tak tak mengerti berperan dengan baik.
Maka saat adegan kehidupanmu adalah “adegan kesenangan”, akting terbaikmu adalah mensyukuri tiada henti dan habis kenikmatan itu.
Dan saat adegan kehidupanmu adalah “adegan kepahitan”, maka akting terbaikmu adalah menyabarkan jiwa dan hati sembari menikmati kepahitan itu, hingga bagian kisahmu berakhir indah seindah-indahnya…
Kita menyebutnya: Husnul Khatimah.
Akhukum,
Muhammad Ihsan Zainuddin
https://t.me/IhsanZainuddin (Telegram)
NB:
Masa #StayAtHome ini mungkin masih akan lama.
Kita bahkan belum sampai di puncak kurva Pandemi Covid 19 ini.
Jadi, apa rencana Anda selama #StayAtHome ini?
KuliahIslamOnline.com menawarkan 2 paket E-Course/Kursus Online
yang dapat Anda akses dengan mudah dari rumah, kapan saja…
OPSI PERTAMA:
Paket Ikut 1 Kursus-Bonus 1 Kursus:
Di mana Anda mengikuti E-Course Imunisasi Pemikiran Muslim yang Mengkaji Kitab “Sabighat” karya Syekh Ahmad al-Sayyid, biayanya HANYA Rp. 297.000,- (mestinya Rp. 575.000,-)…
Dan Anda akan dapat BONUS GRATIS E-Course Adab Ilmu (Mengkaji Kitab “Ta’lim al-Muta’allim” dalam 4 diktat dan 124 video) senilai Rp. 675.000.
Tapi Anda hanya perlu membayar senilai: Rp. 297.000,- untuk mendapat 2 E-COURSE itu.
Kalau mau opsi 1 ini, silahkan di sini:
OPSI KEDUA:
Anda hanya ikut E-COURSE Adab Ilmu (Mengkaji Kitab “Ta’lim al-Muta’allim”) saja,
dan Anda HANYA perlu bayar Rp. 97.000 saja (dari Rp. 675.000).
Jika mau opsi 2 ini, silahkan di sini:
Kami tunggu Anda di salah satu kursus itu, ya…
[1] Sebagaimana ditegaskan oleh Musa ibn ‘Uqbah, dan dinukil oleh al-Dzahabi dan Ibnu Hajar.