Tujuan yang benar,
tidak mesti membuatmu benar.
Tujuan yang benar,
tidak pasti membuat apa yang kau buat:
benar belaka.
Tujuanmu takkan pernah benar,
hingga cara dan jalanmu
menujunya dan meraihnya: benar!
Itulah Islam.
Itulah Islam yang harus kau paham.
Meski maksudmu mulia,
ia takkan menjadi mulia,
jika jerih-upayamu mewujudnya
hanya jerih-upaya yang hina
dan memalukan!
***
Maka jika engkau
ingin tunjukkan kebenaran Islam
tapi dalil-dalilmu palsu belaka,
sungguh payahlah kelakuanmu itu.
Kelakuanmu seperti itu:
sungguh tak Islami,
meski maksudmu menyerukan Islam!
Jika engkau ingin buktikan
cintamu pada Sang Rasul:
tapi dengan caramu sendiri
meski tak dituntunkan oleh Baginda,
yang tak pernah sudi kita melampau batas
dalam merajut cinta untuknya:
sia-sialah maksud mulia-cintamu itu.
Karena meski maksudmu mulia,
jalanmu mewujudnya terkeliru jejak.
***
Jika engkau ingin buktikan
cintamu pada Ahlul Bait Baginda
dengan apa yang terlintas di pikirmu,
sambil berpijak pada riwayat-riwayat dusta,
pada jalinan nalar yang dibuat-buat,
hingga ritual-ritual yang tak mereka kenal:
niscaya,
sia-sia sajalah jalan pembuktianmu itu.
Karena walau niatmu tampak tulus,
jejakmu mewujudnya sungguh bulus.
***
Jika hatimu penuh prihatin,
saksikan manusia lalai pada Allah,
hidupnya abai dari jejak ketaatan,
lalu engkau bertingkah selayaknya Khawarij:
menghardik para hamba ke jalan taat
dengan merangkai ayat-ayat adzab,
seakan Allah tiada rahmat-kasih dan ampun.
Niatmu “mungkin” mulia,
tapi caramu mewujudkan sungguh memilukan!
***
Jika hatimu terasa sesak,
saksikan pikiran-pikiran sempit berdesak,
hingga jiwamu gelisah mau berontak,
hendak buktikan Islam itu penuh toleran,
Islam itu agama kasih dan tak ketinggalan:
Jangan pula kau bertingkah selayaknya Murjiah!
Hingga:
Semua agama sama sahaja.
Yang Tauhid dan syirik tak ada bedanya.
Si kafir dianggap saudara hingga ke Surga.
Gereja dijaga meski shalat akhirnya terlupa.
Rasulullah dihina, tapi hatinya tak pernah luka.
Niatmu mungkin mulia,
tapi cara dan jalanmu terlalu lebay,
selebay-lebaynya!
***
Niatmu mungkin mulia:
Menyadarkan umat pada bahaya musuhnya.
Hingga jiwamu paranoid tanpa sadar,
karena semua yang tak kau sukai dan curigai:
menjelma menjadi rancang-rencana konspirasi!
Covid-19 adalah konspirasi.
Vaksinasi pun konspirasi.
Imam Mahdi Ramadhan ini keluar.
Ini makar. Itu makar.
Hidupmu dikepung curiga yang membakar.
Tapi anehnya,
Engkau terlalu yakin dengan simpulanmu.
Logika pikirmu tanpa kau sadari
menjelma sungguh menyeramkan:
“I’taqid tsumma istadill…”
Yakini saja dulu, urusan dalil dan bukti
bisa dicari-cari nanti!
Maka sungguh tak heranlah hamba ini:
Jika cakap dan bicaramu tak berbasis ilmu.
Ilmu dan ahli ilmu menjelma jadi “musuh”.
Rujukanmu petik sana dan sini.
Jiwamu sudah terlalu letih hidup dalam curiga,
hingga sekedar mengecek info pun kau lelah.
Hingga apa saja yang hinggap di matamu,
asalkan mendukung “aqidah”mu
cukuplah sudah jadi argumentasimu,
meski ia tak lebih dari kabar palsu.
Engkau kehilangan nalar ilmiah.
Metode beragamamu pun jadi rapuh.
Beragama hanya modal emosi.
Kesannya:
kita hanya hebat berorasi di mimbar,
tapi malas berpikir dalam tadabbur.
***
Itulah serangkai pola-pola pikir
yang membumbui kisah kita sebagai umat.
Semuanya meruncing-kerucut
dalam simpul yang salah itu:
“Asalkan tujuan dan niatku baik,
cara dan jalan apapun bolehlah aku tempuh!”
Maka teringatlah di zaman dahulu:
“motivator al-Qur’an” tega hati
mencipta hadits-hadits palsu
tentang keutamaan Surah tertentu,
demi melecut umat mengaji!
Niatnya sungguh indah-mulia,
tapi sudi berdusta atas nama Nabi.
***
Itulah sebabnya,
Umar bin ‘Abd al-‘Aziz rahimahullah,
Sang khalifah hebat itu pernah mengatakan:
“Jangan menjadi orang
yang hanya mengikuti kebenaran
saat kebenaran itu sesuai dengan selera nafsunya,
namun ia akan menyelisihi (kebenaran)
saat (kebenaran) itu
menyelisihi selera nafsunya.
Karena jika begitu,
engkau takkan dipahalai
saat sejalan dengan kebenaran,
dan akan diganjar adzab jika meninggalkannya.
Karena (sebenarnya) dalam 2 kondisi itu,
engkau tidak lain hanya mengikuti selera nafsumu!”
(Syarh al-Thahawiyah, 2/793)
Maafkanlah atas kepanjangan ini…
Akhukum,
Muhammad Ihsan Zainuddin
https://t.me/IhsanZainuddin (Telegram)
https://www.instagram.com/m.ihsanzainuddin/